Dari deretan Makam 'Ulama atau Waliyullah yg ada di Kabupaten Banyumas, Makam Syekh Maqdum Wali Purwokerto termasuk makam yg paling dikenal oleh masyarakat.
Jumat, 20 Januari 2023
Syekh Maqdum Wali, Mubaligh Utusan Demak Bintoro Di Pasir Luhur
Dari deretan Makam 'Ulama atau Waliyullah yg ada di Kabupaten Banyumas, Makam Syekh Maqdum Wali Purwokerto termasuk makam yg paling dikenal oleh masyarakat.
Senin, 16 Januari 2023
Pangeran Martapura, Raja Mataram Islam Yang Hanya Menjabat Selama Satu Hari Satu Malam
Kerajaan Mataram Islam atau yg juga dikenal sebagai Kesultanan Mataram adalah sebuah Kerajaan yg pernah berdiri pada abad 16 - 18 atau sekitar tahun 1586 - 1755.
Raja atau Sultan yg pernah memerintah dalam kurun waktu tersebut, dimulai dari Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati sebagai pendiri sekaligus Raja pertama Mataram, sampai dg Pakubuwono II.
Raja terbesar yg mengantar Mataram menuju puncak kejayaannya adalah Raden Mas Jatmika atau Raden Mas Rangsang atau Sultan Agung. Ia memerintah pada tahun 1613 - 1645 (sekitar 32 tahun).
Namun, ada sejarah yg tidak banyak diketahui publik mengenai Mataram Islam. Salah satunya adalah adanya Raja sementara yg hanya berstatus Raja selama satu hari.
Adalah Raden Mas Wuryah atau Pangeran Martapura. Ia merupakan putra dari Panembahan Hanyakrawati (Raja Mataram kedua) dg Ratu Tulungayu dari Ponorogo.
Pada awal-awal pernikahannya dg Ratu Tulungayu (saat masih jadi Adipati Anom/Putra Mahkota), Panembahan Hanyakrawati belum juga dikaruniai putra.
Padahal, ia sudah terlanjur berjanji jika dirinya menjadi Raja, maka kedudukan Adipati Anom akan diberikan kepada putra yg dilahirkan Ratu Tulungayu.
Akhirnya, ia menikah lagi dg Dyah Banowati, putri Pangeran Benawa, Raja terakhir Pajang. Dari Dyah Banowati atau yg kemudian bergelar Ratu Mas Hadi, Panembahan Hanyakrawati dikaruniai putra-putri, diantaranya yaitu Raden Mas Rangsang (Sultan agung) dan Ratu Pandansari (istri Pangeran Pekik).
Namun, setelah sekitar 4 tahun Panembahan Hanyakrawati menjadi Raja, Ratu Tulungayu ternyata melahirkan seorang putra yg kemudian diberi nama Raden Mas Wuryah.
Padahal, kala itu Panembahan Hanyakrawati telah menetapkan Raden Mas Rangsang sebagai Adipati Anom yg kelak meneruskannya sebagai seorang Raja.
Walaupun Ratu Tulungayu sudah melahirkan Raden Mas Wuryah, menjelang wafatnya, Panembahan Hanyakrawati berwasiat agar Raden Mas Rangsang lah yg tetap diangkat menjadi Raja jika ia sudah wafat.
Keputusan tersebut ternyata salah satunya didasari atas Ramalan Panembahan Bayat (penasehat spiritual Keraton), yg menyebut jika Raden Mas Rangsang kelak akan membawa kejayaan Mataram.
Namun, Panembahan Hanyakrawati juga tetap memegang erat janjinya untuk menjadikan Raden Mas Wuryah sebagai Raja Mataram penerusnya.
Oleh karena itu, sebelum wafat, Panembahan Hanyakrawati juga berwasiat agar Raden Mas Wuryah dijadikan sebagai Raja sementara, sebagai bentuk keteguhannya dalam memegang janji.
J.P. Coen (kepala perdagangan VOC kala itu) menyebut jika peristiwa penyerahan tahta tersebut terjadi saat Raden Mas Wuryah masih berumur sekitar 8 tahun dan Raden Mas Rangsang berusia 20 tahun.
Karena menderita sakit ingatan, Raden Mas Wuryah yg baru menjadi raja selama satu hari satu malam tersebut, akhirnya turun tahta. Dan kedudukan sebagai Raja akhirnya diberikan kepada Raden Mas Rangsang (Sultan Agung) sesuai wasiat Panembahan Hanyakrawati sebelumnya.
Gagak Rimang, Kuda Hitam Yang Temani Akhir Hayat Arya Penangsang
Dalam Sejarah yg membahas tentang Tokoh Arya Penangsang, biasanya nama Kuda Gagak Rimang selalu disebut. Pasalnya, Kuda inilah yg telah menemani Arya Penangsang sampai pada akhir hayatnya.
Seperti yg telah kita ketahui, Arya Penangsang tewas setelah bertarung dg Sutawijaya. Kala itu, Arya Penangsang sedang menunggang Kuda Gagak Rimang miliknya di dekat Sungai Bengawan Sore. Dan kebetulan Sutawijaya juga menunggangi kuda (betina).
Alhasil, Gagak Rimang yg merupakan kuda jantan pun akhirnya tertarik dg kuda Sutawijaya hingga birahi, dan memaksa untuk menyebrangi Sungai dalam keadaan Arya Penangsang yg terus bertarung dg Sutawijaya.
Kuda Gagak Rimang terus saja bergerak tidak mau tenang. Akhirnya, Usus Arya Penangsang pun terburai keluar karena perutnya berhasil terkena tombak Kyai Plered yg dipakai Sutawijaya. Walaupun begitu, Arya Penangsang masih saja melanjutkan pertarungan.
Namun naas, saat hendak mengeluarkan Keris Setan Kober miliknya, mata keris justru merobek ususnya sendiri yg ditautkan pada wrangka keris. Alhasil, ia tewas seketika.
Dalam sejarah singkatnya, konon asal-usul kuda Gagak Rimang adalah kuda milik Riman. Riman sendiri adalah anak Soreng Pati, Penggede di Desa Kasiman. Konon kuda tersebut menghilang pada saat tuannya, yaitu Riman bertarung melawan Siman, anak Soreng Rangkut, Penggede di Desa Sambeng.
Arya Penangsang sendiri, menemukan Kuda tersebut saat sedang jalan-jalan memeriksa keadaan di sebuah daerah dg rerumputan segar. Kuda hitam tersebut mendekati Arya Penangsang dg jinaknya.
Akhirnya, Arya Penangsang pun merasa tertarik untuk memilikinya, dan berusaha mencari keberadaan sang pemilik. Karena pemiliki kuda bernama Riman, serta memiliki bulu hitam layaknya gagak, maka Kuda tersebut dinamakannya sebagai Kuda Gagak Riman. Dan nama Riman lambat laun terucap Rimang hingga sekarang.
Sabtu, 14 Januari 2023
Asal-Usul Nama Ajibarang Dalam Versi Jaka Mruyung Dan Amangkurat I
Kamis, 12 Januari 2023
Sejarah Penggunaan Keris Beronce Pada Pengantin Pria Jawa
Dalam pernikahan adat Jawa, kita seringkali melihat mempelai pria mengenakan pakaian adat yg dilengkapi sebuah keris yg terselip di pinggangnya. Keris tersebut diperindah dg tambahan lilitan ronce bunga melati di bagian werangkanya.
Setiap bagian dari adat Jawa, pasti memiliki filosofi dan sejarahnya tersendiri. Termasuk dalam hal ini adalah Keris Beronce yg ada pada pakaian pengantin pria Jawa. Lantas, bagaimana sejarah dan filosofi di dalamnya?
Penggunaan accesories Keris Beronce pada pakaian pengantin pria Jawa, konon mulai dipakai oleh Ki Juru Mertani (penasehat Sutawijaya/pendiri Mataram Islam) saat putranya menikah.
Alasan Ki Juru Mertani menyelipkan tambahan Keris Beronce pada pakaian pengantin pria Jawa, karena ia terisnspirasi Arya Penangsang saat sedang bertarung melawan Sutawijaya.
Saat itu, Tombak Kyai Plered yg digunakan Sutawijaya berhasil mengenai lambung Arya Penangsang. Alhasil, Arya Penangsang pun terluka hingga ususnya terburai keluar.
Melihat kondisi tersebut, Arya Penangsang menautkan ususnya yg terburai pada sarung atau werangka Keris Setan Kober miliknya, dan melanjutkan pertarungan. Namun naas, saat ia mengeluarkan Keris untuk menghabisi Sutawijaya, mata kerisnya justru mengenai dan memotong ususnya yg ia tautkan pada werangka. Akhirnya, Arya Penangsang pun tewas terkena senjatanya sendiri.
Ki Juru Mertani yg menyaksikan kejadian tersebut, lantas terinspirasi akan keberanian dan kegagahan Arya Penangsang. Ia pun kemudian menambahkan accesories Keris Beronce, yg filosofinya agar pengantin pria bisa tampak lebih gagah dan berani seperti Arya Penangsang yg tetap berjuang meski dalam kondisi yg terluka.
Rabu, 11 Januari 2023
Syekh Nur Hakim, 'Ulama Besar Banyumas Era Abad Ke-19
Syekh Nur Hakim merupakan salah seorang tokoh 'Ulama atau Waliyulloh pejuang penyebar Agama Islam yg makamnya berada di Kabupaten Banyumas.
Karena berada di lingkungan orang Jawa, maka Syekh Nur Hakim lebih akrab disebut dg Mbah Nur Hakim atau Kyai Nur Hakim. Hal ini dibuktikan juga dg adanya nama Jalan Kyai Nur Hakim di lokasi yg tidak jauh dari Makamnya.
Makam Kyai Nur Hakim masuk dalam wilayah Desa Pasir Wetan, Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas. Dilihat dari alamat tersebut, lokasinya memang tidak jauh dari Makam Syekh Maqdum Wali.
Letak Makam Kyai Nur Hakim berada di dekat pematang sawah yg begitu luas di seberang anak Sungai Penasalan. Secara akses, untuk menuju lokasi Makam terbilang sulit, terutama untuk kendaraan besar.
Dari Jalan Kyai Nur Hakim, di tengah pemukiman padat Desa Pasir Wetan, pengunjung atau peziarah diarahkan untuk ke arah Utara memasuki gang yg hanya cukup untuk akses satu mobil roda empat. Dan jika telah berada di pertigaan (patokannya kolam renang), peziarah tinggal lurus saja 'mentok' ke Utara hingga sampai ke lokasi Makam.
Sebagaimana umumnya Makam Auliya' lain di Indonesia, Makam Kyai Nur Hakim pun dibuat lebih menonjol dari Makam lain di sekitarnya. Makamnya dibangun seperti cungkup, namun tidak memiliki atap alias terbuka atasnya.
Di sekitar Makam Kyai Nur Hakim, terdapat banyak Makam santri, keluarga, kerabat, ataupun penduduk sekitar. Suasana di komplek Makam ini juga terlihat lebih njawani dg adanya bangunan pendopo Jawa dg beberapa ruangan khusus.
Dilihat dari jumlah peziarah, Makam Kyai Nur Hakim memang tidak seramai Makam-makam Auliya' lain di daerah Banyumas. Kebanyakan peziarah berasal daerah sekitar (Pasir) serta Cikakak (Wangon).
Padahal, jika dilihat dari riwayatnya, Kyai Nur Hakim termasuk 'Ulama paling berpengaruh di Banyumas pada masanya. Lantas, siapa sebenarnya Kyai Nur Hakim?
Pada Prasasti yg tertulis di dekat pintu masuk Makam, dijelaskan jika Kyai Nur Hakim atau yg bernama asli Raden Mas Surya Muhammad ini wafat pada Malam Sabtu Pahing, 27 Juni 1891 Masehi.
Dari tahun tersebut, diketahui jika Kyai Nur Hakim hidup di era yg lebih tua dibandingkan beberapa Waliyullah lain di Kabupaten Banyumas, seperti Syekh 'Abdul Malik Kedungparuk yg lahir pada tahun 1881, atau 10 tahun sebelum wafatnya Kyai Nur Hakim.
Untuk silsilahnya sendiri terdapat beberapa versi pendapat. Versi pertama yg dijelaskan oleh juru kunci Makam menyebut jika Kyai Nur Hakim merupakan seorang bangsawan Kasunanan Surakarta.
Hal ini diperkuat oleh sebuah sejarah percakapan antara Kyai Nur Hakim dg mertuanya, Demang Nurahman I. Dalam percakapan tersebut, mertuanya menawarkan Kyai Nur Hakim untuk menjadi Demang. Namun, Kyai Nur Hakim menolaknya, dg alasan jika mau jabatan, beliau bisa saja menjadi seorang Sinuwun di Kasunanan Surakarta.
Versi kedua yg merujuk pada Buku Sejarah Kota Poerwokerto (1832-2018) karya Prof. Sugeng Priyadi, dijelaskan jika Kyai Nur Hakim lahir di Pancasan, Ajibarang pada 1818 Masehi. Dijelaskan juga jika beliau merupakan menantu Demang Nurahman I sekaligus saudara ipar Demang Nurahman II.
Jika benar Syekh Nur Hakim lahir pada tahun 1818 Masehi, maka bisa dipastikan jika beliau seangkatan dg Syekh Kholil Bangkalan yg lahir 2 tahun setelahnya atau pada tahun 1820 Masehi.
Kyai Nur Hakim banyak mengisi masa mudanya untuk memperdalam Agama Islam ke berbagai wilayah. Salah satu gurunya yg terkenal adalah Kyai Hasan Maulani Lengkong, Cirebon, seorang Mursyid Thoriqoh Syattariyah. Dan Dari beliaulah, Kyai Nur Hakim berbaiat Thoriqoh.
Dalam sebuah catatan sejarah, disebutkan pula setelah nyantri di Cirebon, Kyai Nur Hakim melanjutkan Tholabul 'Ilmi ke daerah Bogor dan Banten. Disana, beliau juga masuk sebagai pengikut Thoriqoh Rifa'iah.
Setelah sekian lama memperdalam Agama Islam, Kyai Nur Hakim mulai berdakwah ke daerah Banyumas, yg dalam hal ini basisnya berada di Pasir Wetan. Karena mempunyai latar belakang Thoriqoh, Kyai Nur Hakim juga dikenal sebagai penyebar Thoriqoh Syattariyah (ada pula yg menyebut penyebar Thoriqoh Akmaliyah) di wilayah Banyumas.
Perjuangan dakwahnya tidak selalu berjalan mulus, dan banyak menemui rintangan di dalamnya. Misalnya, dalam suatu riwayat, Kyai Nur Hakim pernah menyelenggarakan hajatan khitan putranya. Karena tamu yg datang sangat banyak dan juga berasal dari berbagai daerah, maka beliau pun dicurigai oleh penguasa setempat. Buntutnya, beliau pun harus dipindah ke beberapa tempat. Bahkan tercatat sampai ke Banyuwangi, Jawa Timur.
Walaupun demikian, keteguhan hatinya tetap terjaga. Di tempat pengasingan, Kyai Nur Hakim terus saja berdakwah. Karena keistiqomahannya dalam berdakwah, Pesantren yg didirikannya pun semakin banyak santrinya.
Pengikut atau santrinya berasal dari berbagai wilayah, salah satunya adalah Cikakak, sebuah Desa yg kini masuk dalam wilayah Kecamatan Wangon. Fakta ini diperkuat dg banyaknya peziarah asal Cikakak, seperti yg sudah disinggung diatas. Mereka menyebut jika leluhurnya banyak yg menjadi Santri Kyai Nur Hakim.
Kyai Nur Hakim juga merupakan tokoh Agama yg dikenal sakti mandraguna. Menurut juru kunci Makam, kesaktian Kyai Nur Hakim diantaranya adalah membuat areal sawah dalam waktu semalam dan esoknya bisa dipanen, Membagikan wirid atau hizib atau rajah agar kebal terhadap serangan peluru, dan kisah-kisah lain yg sulit dinalar oleh manusia biasa.
Sebagai 'Ulama yg disibukkan dg mengajar atau berdakwah, Kyai Nur Hakim juga tetap pandai dalam mengelola keuangan. Beliau dikenal memiliki sawah yg luas, dan sumber penghasilan lainnya, sehingga beliau termasuk sebagai 'Ulama paling kaya di Jawa kala itu.
Itulah sedikit sejarah riwayat hidup Kyai Nur Hakim, sebagai salah seorang 'Ulama yg berjasa menghidupkan Agama Islam di daerah Banyumas khususnya. Semoga kita sebagai generasi penerus bisa meneladani perjuangan orang-orang Sholeh terdahulu..Aamiin.
• Wallahu A'lam Bish-Showab •
Referensi:
✓Jangan Lupa, Selalu Ingat Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah) dan Jas Hijau (Jangan Sekali-kali Menghilangkan Jasa Ulama).
Mengenal Sedikit Riwayat Hidup Ki Kebo kenanga, Ayah Jaka Tingkir
Dalam catatan sejarah yg membahas silsilah Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya/Pendiri Kerajaan Pajang), biasanya nama Ki Kebo Kenanga akan disebut. Hal ini karena Ki Kebo Kenanga merupakan ayah dari Jaka Tingkir.
Kelahiran Joko Tingkir atau Mas Karebet disebut-sebut terjadi saat ayahnya, yaitu Ki Kebo Kenanga sedang menggelar pertunjukan Wayang Beber. Saat itu, istrinya yg sedang hamil tua melahirkan seorang putra. Putranya tersebut, oleh Ki Kebo Kenanga dinamai sebagai Mas Karebet.
Dalam Babad Tanah Jawi, disebutkan jika Ki Kebo Kenanga merupakan putra dari Adipati Jayaningrat, penguasa Pengging di era Majapahit sekaligus menantu dari Prabu Brawijaya V. Dari perkawinannya dg putri Prabu Brawijaya V, Adipati Jayaningrat memiliki 2 orang putra, yaitu Ki Kebo Kanigara dan Ki Kebo Kenanga (versi lain menyebut 3 putra dg tambahan Ki Kebo Amiluhur).
Setelah Adipati Jayaningrat meninggal, kedua putra Jayaningrat saling berselisih. Ki Kebo Kanigara tetap bertahan sebagai pemeluk Agama Hindu/Buddha. Sedangkan Ki Kebo Kenanga menjadi pemeluk Agama Islam.
Sebagai pemeluk Islam, Ki Kebo Kenanga banyak berguru kepada Syekh Siti Jenar, tokoh Wali yg ajarannya dianggap kontroversial. Diantara saudara seperguruannya yaitu Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh, dan Ki Ageng Ngerang.
Sebagai keturunan dari Adipati Jayaningrat yg menguasai Pengging, Ki Kebo Kenanga mewarisi kekuasaan ayahnya tersebut, sehingga ada versi yg menyebutnya sebagai Ki Ageng Pengging II (Adipati Jayaningrat disebut sebagai Ki Ageng Pengging I).
Di Pengging, Ki Kebo Kenanga berusaha mengembangkan Syari'at Islam di daerahnya. Disana, ia mulai banyak memiliki pengikut, seperti yg dapat terlihat dalam Sholat Jum'at.
Karena merupakan seorang Muslim yg memiliki kekuasaan di Pengging, Ki Kebo Kenanga diperintahkan untuk menghadap ke Demak. Sultan Demak curiga jika ia memiliki niat untuk mendirikan kekuasaan sendiri, atau dalam kata lain ada keinginan untuk menjadi seorang Raja.
Hingga 2 tahun lamanya, Ki Kebo Kenanga tidak kunjung datang menghadap ke Demak. Sehingga, Sultan Demak menyimpulkan jika Ki Kebo Kenanga benar-benar memiliki niat untuk memberontak. Selain itu, ia juga dianggap sebagai seorang penyebar ajaran Syekh Siti Jenar yg dianggap sesat. Sebagai tindak lanjutnya, Sultan Demak mengutus Sunan Kudus ke Pengging untuk menyampaikan murkanya.
Dalam sebuah riwayat, disebutkan jika Ki Kebo Kenanga meninggal setelah ujung siku yg merupakan titik lemahnya, ditusuk keris oleh Sunan Kudus. Versi lain dalam Serat Siti Jenar, Ki Kebo Kenanga meninggal dg cara serta kemauannya sendiri, bukan dg ditusuk keris oleh Sunan Kudus.
Sebagai penguasa Pengging, Ki Kebo Kenanga dimakamkan di Pengging. Pemakaman tersebut saat ini secara administrasi masuk dalam Kawasan Pengging, Desa Jembung, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali. Karena merupakan penguasa Pengging, ia lebih dikenal sebagai Ki Ageng Pengging, seperti yg tertulis di gapura makamnya.
Rabu, 21 Desember 2022
Asal Mula Kota Gombong, Yang Ternyata Didirikan Oleh Kyai Gombong
Gombong adalah nama sebuah Kecamatan di Kabupaten Kebumen. Kecamatan Gombong banyak dikenal sebagai daerah Kota terbesar kedua di Kabupaten Kebumen, setelah Kota Kebumen.
Senin, 12 Desember 2022
Benarkah Nama Cilongok Tercipta Pada Masa Kerajaan Pajajaran?
Cilongok merupakan salah satu nama Kecamatan yg ada di wilayah Kabupaten Banyumas. Berdasarkan urutan huruf alfabet, nama Cilongok berada di posisi keempat (dari 27 Kecamatan di Banyumas) setelah Ajibarang, Banyumas, dan Baturraden.
Dilihat dari namanya, Cilongok seperti sebuah nama berbau daerah Jawa bagian barat atau Sunda. Namun, untuk saat ini sendiri, justru masyarakat asli Cilongok adalah Suku Jawa, dg Bahasa asli Jawa Banyumasan.
Kecamatan Cilongok saat ini memiliki Pusat Pemerintahan di Desa Pernasidi. Namun, dalam sejarahnya, sebelum Kemerdekaan RI hingga awal-awal Kemerdekaan, Kecamatan ini berpusat di Desa Cilongok. Maka dari itulah nama Kecamatan ini pun menjadi Kecamatan Cilongok.
Terkait asal-usul nama Cilongok sendiri, terdapat beberapa sumber pendapat yg menceritakannya. Pendapat pertama dari Bapak Sunaryo, salah seorang sesepuh Desa Cilongok, mengatakan jika nama Cilongok diberikan karena dahulu terdapat seorang Kakek yg bernama Kaki Cilongok.
Pendapat kedua dari Mas Dedi, tokoh Karang Taruna Desa Cilongok, mengatakan jika Cilongok berasal dari kata Ci- yg berarti Air dan Longok yg berarti Muncul. Sehingga, Cilongok diartikan sebagai Mata Air yg muncul dari dalam tanah.
Pendapat ketiga dikemukakan secara lebih panjang oleh Bapak Risun, salah seorang keturunan dari Bapak Nurya Sentika (Lurah pertama Cilongok).
Beliau menceritakan, jika dahulu Desa Cilongok adalah Batas wilayah timur dari Kerajaan Pajajaran. Dikarenakan saat itu belum ada penjaga perbatasan wilayah timur Kerajaan, maka Sang Raja membuat sayembara. Siapa yg paling kuat, maka ia berhak menjadi penjaga perbatasan.
Sayembara tersebut kemudian didengar oleh 3 orang bersaudara, yaitu Ki Suramerta, Ki Candrageni, dan Ki Jambe Wangi. Ki Suramerta dan Ki Candrageni cukup berambisi untuk memenangkan sayembara tersebut. Berbeda dg 2 saudaranya itu, Ki Jambe Wangi justru tidak terlalu berambisi.
Ketiganya lantas bertarung adu kekuatan di lokasi yg kini berada di bawah makam Ki Suramerta. Karena pertarungan yg begitu sengit, muncullah ledakan hebat yg membentuk sebuah Kedung yg mengeluarkan air.
Masyarakat yg terkejut mendengar ledakan tersebut, kemudian melongok atau menengok ke tempat kejadian untuk memastikan apa yg terjadi.
Karena saat itu terdapat sebuah mata air baru yg banyak dilihat atau ditengok atau dilongok oleh masyarakat sekitar, maka tempat tersebut kemudian diberi nama Cilongok. Kata Ci diberikan karena adanya munculnya air, sedangkan kata Longok diberikan karena adanya orang-orang yg ramai menengok atau melongok.
Pertarungan tadi dimenangkan oleh Ki Jambe Wangi, sehingga ia berhak menjadi penjaga perbatasan timur Kerajaan. Dan nama Ki Jambe Wangi kemudian dikenal dg nama Ki Cilongok, sesuai nama tempat tersebut.
Berdasarkan penulusuran Google Maps, di Desa Cilongok memang terdapat sebuah pemakaman yg diberi nama TPU Suramerta. Sehingga, jika merujuk pada pendapat ketiga diatas, lokasi tempat pertarungan yg berubah menjadi kedung tersebut, berada di sekitar Dusun Bedolan, Desa Cilongok, Kecamatan Cilongok, Banyumas. Apakah Benar Demikian?
Dari 3 pendapat diatas, penulis sendiri lebih condong pada pendapat ketiga. Sebab, pendapat dari Bapak Risun uraiannya lebih panjang dan juga mencakup apa yg dikemukakan oleh pendapat pertama (Bapak Sunaryo) dan pendapat kedua (Mas Dedi).
Namun, karena dalam cerita tadi disebutkan terjadi pada masa Kerajaan Pajajaran ratusan tahun silam, maka cerita diatas tentunya belum terjamin semua kebenarannya.
Rujukan Utama:
"profil desa cilongok: Profil desa" http://desacilongok.blogspot.com/2013/09/jjjjjjjjjj.html?m=1
Mengenal Asal-Usul Nama Dan Sejarah Terbentuknya Kabupaten Banjarnegara
Banjarnegara merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan penetapan Hari jadinya, Banjarnegara memiliki hubungan erat dg Kabupaten Banyumas. Lantas, bagaimana asal usulnya?
Dalam riwayat berdirinya Kabupaten Banjarnegara disebutkan bahwa dahulu ada seorang tokoh masyarakat yang bernama Kyai Maliu sangat tertarik akan keindahan alam di sekitar Kali Merawu selatan jembatan Clangkap.
Keindahan tersebut antara lain karena tanahnya berundak, berbanjar sepanjang kali. Sejak saat itu, Kyai Maliu kemudian mendirikan pondok/rumah sebagai tempat tinggal yang baru.
Dari hari ke hari kian ramai dengan para pendatang yang kemudian mendirikan rumah disekitar tempat tersebut sehingga membentuk satu perkampungan. Kemudian perkampungan yang baru dinamai “BANJAR” sesuai dengan daerahnya yang berupa sawah yang berpetak-petak.
Atas dasar musyawarah penduduk desa baru tersebut Kyai Maliu diangkat menjadi Petinggi (Kepala desa), sehingga kemudian dikenal dengan nama “Kyai Ageng Maliu Petinggi Banjar.
Keramaian dan kemajuan desa Banjar di bawah kepemimpinan Kyai Ageng Maliu semakin pesat tatkala datang 3 Putra Sunan Giri, yaitu Kanjeng Pangeran Giri Wasiat, Panembahan Giri Pit, dan Nyai Sekati yang sedang mengembara dalam rangka syiar agama Islam.
Dibawah kepemimpinannya itulah Desa Banjar semakin berkembang dan ramai. Desa Banjar yang didirikan oleh Kyai Ageng Maliu inilah pada akhirnya menjadi cikal bakal Kabupaten Banjarnegara.
Pemkab Banjarnegara sendiri menetapkan Hari Jadi Banjarnegara jatuh pada 26 Februari 1571 Masehi, yg dikukuhkan dalam Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2019.
Tanggal 26 Februari 1571 menjadi patokan, atas peristiwa diangkatnya Jaka Kaiman pada 22 Februari 1571 (hari jadi Banyumas) oleh Sultan Pajang sebagai Adipati Wirasaba setelah peristiwa terbunuhnya Wargohutomo akibat fitnah Demang Toyareka pada tragedi Sabtu Pahing.
Saat itu, Jaka Kaiman tidak menyangka diangkat menjadi Bupati Wirasaba menggantikan mertuanya pada 27 Ramadhan 978 H atau 22 Februari 1571. Ia bahkan berangkat ke Pajang dalam rangka mewakili ipar-iparnya yang takut menghadap Sultan Pajang, takut dibunuh sebagaimana Wargo Hutomo.
Maka wajar dan sadar diri bahwa ia hanya anak menantu, pada saat pertemuan kedua dengan Sultan Pajang pada saat Hari Raya Idul Fitri atau 1 Syawal 978 H, tepatnya pada Senin Pon 26 Februari 1571, Jaka Kaiman mengusulkan untuk membagi Kadipaten Wirasaba menjadi 4, yaitu Wirasaba, Kejawar, Merden (Pamerden) dan Banjar Petambakan.
Dan hal itu pun disetujui oleh Sultan Hadiwijaya, sehingga begitu pulang dan sampai di Wirasaba, ia langsung membagi Wirasaba menjadi empat.
Ini adalah sebuah fakta pikiran, yang bersumber dari Babad Kalibening dan Babad Banyumas yang sebelumnya telah dijadikan sebagai rujukan penetapan hari jadi Banyumas 22 Februari 1571 atau hanya berselang tiga hari. Tanggal itulah yang dirasa paling tepat dijadikan titi mangsa berdirinya Kabupaten Banjarnegara.
Untuk nama perubahan nama menjadi Banjarnegara sendiri, terjadi pada masa kepemimpinan KRT Dipayudha IV (1831-1846). pada masa ini pusat kekuasaan kembali dipindah ke selatan sungai Serayu, atas ijin Pakubuwana VII. Nama kabupaten pun diubah menjadi Banjarnegara, dengan maksud “Banjar” adalah sawah, telah berubah menjadi kota atau “Negara”.
Sebelumnya, berdasarkan Resolutie Governeur General Buitenzorg tanggal 22 Agustus 1831 Nomor I, Raden Tumenggung Dipoyudho IV resmi menjabat Bupati Banjar Watulembu. Isi dari resolusi itu antara lain dibentuknya 4 Kabupaten baru selain Banyumas, yaitu Kabupaten Banjarnegara, Majenang, Ajibarang, dan Purbalingga. Maka dari itu, sebelumnya Tanggal 22 Agustus tersebut, pernah dijadikan patokan Hari Jadi Banjarnegara.
Berdasarkan catatan sejarah pada paragraf diatas, diketahui juga jika sebelum bernama Banjarnegara, Kabupaten ini memang memiliki nama Banjar Watulembu, yg dimulai di era kepemimpinan Raden Mangunyudho II. Dimana kala itu, pusat Kabupaten dipindahkan ke sebelah Barat Sungai Merawu.
Rujukan Utama:
https://banjarnegarakab.go.id/main/pemerintahan/profil/.
https://lama.banjarnegarakab.go.id/index.php/berita/politik/1083-menguak-asal-mula-kabupaten-banjarnegara
Minggu, 11 Desember 2022
Kisah Kesaktian Joko Tingkir Yang Kebal Senjata Tajam Dan Ditakuti Binatang Buas
Dalam dunia sejarah Indonesia, Joko Tingkir termasuk sosok yg paling sering dibahas, bahkan sampai pernah difilmkan. Tokoh yg bernama asli Mas Karebet ini merupakan pendiri sekaligus Raja pertama Kesultanan Pajang, yg bergelar Sultan Hadiwijaya.
Joko Tingkir merupakan sosok yg dikenal sakti mandraguna. Bahkan, dalam Buku Babad Tanah Jawi, disebutkan jika Joko Tingkir adalah salah satu dari 3 tokoh sakti pada era akhir Kesultanan Demak, selain Sunan Prawoto dan Arya Penangsang.
Hal ini tidak aneh memang, karena Joko Tingkir sejak masih diasuh Nyai Ageng Tingkir pun sudah dikenal gemar menyepi serta bertapa dalam waktu yg lama, baik di hutan, gua, hingga gunung.
Selain bertapa, Joko Tingkir muda dikenal juga suka berguru Agama Islam dg beberapa tokoh Guru terkenal, seperti Ki Ageng Selo dan Sunan Kalijaga.
Saat dewasa, Joko Tingkir dikenal sebagai sosok yg kebal berbagai senjata tajam. Hal ini pernah dibuktikan ketika Joko Tingkir ditikam oleh 4 orang suruhan Arya Penangsang. Dan ternyata, Joko Tingkir tidak terluka sedikit pun.
Selain dikenal kebal dari berbagai senjata tajam, Joko Tingkir juga dikenal ditakuti oleh berbagai binatang buas. Hal ini pernah dibuktikan dalam kisahnya yg berhasil menaklukkan kawanan buaya dan kerbau gila.
Kisah tersebut bermula saat rombongan Joko Tingkir menyusuri Sungai Kedung Srengenge menggunakan rakit. Dari sungai tersebut, muncullah kawanan buaya (ada yg menyebut siluman buaya) menyerang mereka.
Namun, akhirnya puluhan buaya tersebut dapat ditaklukkan oleh Joko Tingkir. Bahkan, akhirnya kawanan buaya itu membantu mendorong rakit sampai tujuan.
Sedangkan kisah Joko Tingkir menaklukkan Kerbau gila, bermula saat Sultan Trenggono sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto.
Saat itu, Joko Tingkir melepas seekor kerbau gila yg dinamakannya sebagai Kebo Danu, dan sudah diberi mantra berupa tanah kuburan pada telinganya. Alhasil kerbau tersebut mengamuk menyerang Pesanggrahan raja, dan tidak ada prajurit yg sanggup melawannya.
Joko Tingkir pun tampil bak seorang pahlawan menghadapi Kerbau Gila itu. Dan lagi-lagi, Ia pun dapat mengalahkannya dg tanpa kesusahan. Sultan Trenggono pun akhirnya bersimpati serta mengangkatnya kembali menjadi Lurah Wiratamtama.
Dibalik kesaktiannya tersebut, ternyata disebutkan jika Joko Tingkir memiliki sebuah pusaka berupa Timang atau kepala ikat pinggang yg dikenal dg nama Kyai Bajulgiling.
Kyai Bajulgiling tersebut, konon adalah milik Kyai Buyut dari Banyubiru, yg diberikan kepada Joko Tingkir dalam pengabdiannya di Kesultanan Demak, yg kemungkinan akan menemui banyak hambatan.
Timang Kyai Bajulgiling tersebut menurut Babad Pengging, konon dibuat dari Bijih Baja Murni yg diambil dari dalam gumpalan magma lahar Gunung Merapi.
Dari kekuatan alami yg dimiliki oleh inti bijih baja murni, serta rajah berkekuatan ghaib yg diguratkan Kyai Banyubiru di seputar timang tersebut, maka siapa saja yg memakai Kyai Bajulgiling ia akan kebal dari berbagai senjata tajam dan ditakuti oleh berbagai binatang buas.
Lantaran pusaka Kyai Bajulgiling tersebutlah, kesaktian Joko Tingkir menjadi bertambah, dan sudah beberapa kali dibuktikan seperti yg telah diceritakan dalam kisah diatas tadi.
Rujukan Utama:
Buku Babad Tanah Jawi Karya Soedjipto Abimanyu.
Sabtu, 10 Desember 2022
Cerita Syekh Atas Angin, Tokoh Yang Konon Memberikan Nama Gunung Slamet
Nama Syekh Atas Angin atau Mbah Atas Angin biasanya akan muncul jika kita membahas Sejarah atau Asal-Usul nama tempat di kawasan Gunung Slamet dan sekitarnya, seperti Watukumpul, Belik, dan lain sebagainya.
Dalam sebuah versi, nama-nama tersebut konon diambil berdasarkan perjalanan dari Syekh Atas Angin. Lantas, siapa sebenarnya Syekh Atas Angin?
Ada yg menyebut Syekh Atas Angin memiliki nama asli Syekh Maulana Maghribi. Beliau konon adalah seorang mubaligh atau penyebar agama Islam yg berasal dari sebuah Negeri di Timur Tengah (ada yg menyebut Turki).
Asal mula beliau datang ke Tanah Jawa, konon karena mengikuti sebuah cahaya misterius yg menjulang ke angkasa. Karena melihat cahaya tersebut, Syekh Maulana Maghribi bersama Haji Datuk, dan para pengikutnya, sepakat untuk mengikuti keberadaan cahaya tersebut, hingga akhirnya sampailah keduanya di Tanah Jawa.
Pada awal sampai di Pulau Jawa, mereka berlabuh di sekitar Pantai Gresik, Jawa Timur. Namun, cahaya tersebut terlihat di arah barat. Maka, keduanya pun melanjutkan perjalanan, hingga sampailah di sekitar Pantai Pemalang.
Sesampainya disana, pengikut yg lain diperintahkan untuk kembali ke negerinya, sehingga Syekh Maulana Maghribi hanya ditemani oleh Haji Datuk. Dari situ, keberadaan cahaya terlihat berada di sekitar sebelah selatan.
Mereka pun terus mengikuti arah cahaya tersebut dg menembus hutan belantara serta berbagai Medan yg tidak bisa dibilang mudah. Karena merasa letih, mereka pun beristirahat sejenak.
Di tempat istirahat itu, mereka termenung sambil merasakan lelahnya perjalanan serta mengingat kewajibannya untuk menyebarkan Agama Islam. Tempat mereka yg diliputi pikiran dan perasaan tersebut, di kemudian hari dikenal dg nama Paduraksa (nama Kelurahan di Pemalang).
Keduanya kemudian melanjutkan perjalanan lagi, hingga sampai di hutan belukar, sembari singgah diatas tonggak pohon randu yg tumbang. Dan di kemudian hari, tempat tersebut dikenal dg nama Randudongkal (nama Kecamatan di Pemalang).
Dari tempat tersebut, keduanya melanjutkan perjalanan mencari asal cahaya misterius. Hingga sampailah keduanya di sebuah sendang atau kolam. Di dekat sendang tersebut, keduanya kemudian melaksanakan Sholat. Dan di kemudian hari, tempat tersebut dikenal dg nama Belik (nama Kecamatan di Pemalang).
Setelah melaksanakan Sholat, keduanya meneruskan perjalanan hingga sampai di sebuah tempat yg memiliki banyak bebatuan. Di tempat tersebut, keduanya pun beristirahat sambil terus memikirkan perjalanan selanjutnya. Karena terdapat banyak bebatuan, tempat tersebut di kemudian hari dikenal dg nama Watukumpul (nama Kecamatan di Pemalang)
Setelah menempuh perjalanan panjang, Akhirnya sampailah mereka ke tempat yg dituju, yg ternyata berada di puncak gunung. Dari situ, diketahui jika cahaya terang misterius yg menjulang ke angkasa ternyata berasal dari seorang petapa Buddha yg bersandar di pohon jambu (versi lain menyebut asal cahaya berasal dari tempat/gunungnya).
Petapa tersebut kemudian memeluk Agama Islam setelah adu kesaktian dg Syekh Maulana Maghribi, dan namanya pun kemudian dikenal dg Syekh Jambu Karang.
Selanjutnya, Syekh Maulana Maghribi bermukim lama di suatu tempat bernama Banjar Cahayana. Di tempat tersebut, beliau menderita penyakit gatal di sekujur tubuhnya.
Karena begitu sulit disembuhkan, Syekh Maulana Maghribi kemudian Sholat dan memohon petunjuk kesembuhan kepada Allah SWT. Setelah berdoa, akhirnya beliau mendapatkan ilham agar pergi ke Gunung Gora (nama lama Gunung Slamet dalam suatu versi).
Syekh Maulana Maghribi dg ditemani dg Haji Datuk, akhirnya pergi ke Gunung Gora. Setelah sampai ke lereng Gunung Gora, Syekh Maulana Maghribi memerintahkan agar Haji Datuk meninggalkannya, dan beristirahat di tempat yg lebih datar.
Akhirnya, Syekh Maulana Maghribi meneruskan perjalanan seorang diri menuju tempat kepulan asap. Setelah sampai, diketahui jika kepulan asap tersebut berasal dari sumber air panas. Sumber air panas itulah yg dijadikan sebagai obat gatal, hingga penyakit beliau pun menjadi sembuh. Karena mempunyai 7 mata air, maka dinamailah oleh beliau Pancuran Pitu.
Selanjutnya, Gunung Gora pun dinamainya dg nama Gunung Slamet, dimana Slamet sendiri berasal dari kata dalam Bahasa Arab, 'Salamat', yg berarti Keselamatan.
Selama Syekh Maulana Maghribi berada di Pancuran Pitu, ternyata Haji Datuk masih setia berada di tempat yg beliau perintahkan. Maka dari itu, Haji Datuk kemudian diberi julukan Haji Datuk Rusuladi. Rusuladi sendiri berarti Batur yg Baik (Adi). Dari nama Batur Adi tersebutlah konon tercipta nama Baturraden hingga sekarang.
Di kemudian hari, Syekh Maulana Maghribi dikenal sebagai Syekh Atas Angin, karena beliau berasal dari tempat yg jauh. Dan makamnya (ada yg menyebutnya petilasan) kini dapat ditemui di dekat Pancuran Pitu, Baturraden.
Rujukan Utama:
- "Legenda Baturraden" https://www.menggapaiangkasa.com/2014/02/legenda-baturraden.html?m=1.
- https://kabarjoglosemar.pikiran-rakyat.com/wisata/amp/pr-73731674/menilik-mitos-makam-mbah-atas-angin-dan-pancuran-pitu-di-baturaden.
-
Jumat, 09 Desember 2022
Sunan Prawoto, Tokoh Wali Sekaligus Raja Keempat Kerajaan Demak
Dalam sejarah Kerajaan Demak, ada sebuah tempat di Kabupaten Pati yg menjadi daerah penting bagi Kerajaan Islam di Jawa yg berdiri di abad 15 tersebut. Tempat tersebut bernama Bukit Prawoto.
Senin, 05 Desember 2022
Sekilas Tentang Pati Unus, Raja Demak Yang Pernah Menyerang Portugis Di Malaka
Sabtu, 03 Desember 2022
Asal-Usul Nama Boyolali, Yang Konon Berhubungan Dengan Perjalanan Sunan Bayat
Boyolali merupakan sebuah Kabupaten yg masuk dalam Provinsi Jawa Tengah. Tepatnya, berada di Wilayah Eks Karesidenan Surakarta.
Dan dalam artikel kali ini, akan dibahas mengenai asal-usul nama Boyolali, karena di Indonesia masih banyak anggapan masyarakat awam yg salah dalam mengartikan makna nama dari Boyolali.
Untuk Surabaya (Suroboyo) memang betul bermakna Hiu dan Buaya. Karena memang secara sejarah memang ada cerita pertarungan antara Hiu dan Buaya. Dan secara sudut pandang Bahasa Jawa pun bermakna demikian.
Namun, hal ini berbeda dg Boyolali. Jika dilihat sekilas dari sudut pandang Bahasa Jawa jaman sekarang, memang Boyolali bermakna "Buaya Lupa". Padahal, Buaya Lupa tidak ada hubungannya sama sekali dalam sejarah dan makna asli nama Boyolali.
Penamaan Boyolali, menurut legenda sebenarnya didasarkan pada perjalanan Pangeran Mangkubumi, seorang putra dari Bupati Semarang pertama, yaitu Ki Ageng Pandan Arang.
Saat itu, Pangeran Mangkubumi diutus oleh Sunan Kalijaga untuk Mensyiarkan Agama Islam di daerah Gunung Jabalakat, Tembayat (Klaten), ditemani anak dan istrinya. Namun, Dalam perjalanannya beliau sudah cukup jauh meninggalkan anak istrinya. Hingga sampailah beliau di hutan belantara.
Disitu, terdapat 3 perampok yg menduga beliau membawa harta benda berharga. Namun, dugaan tersebut keliru. Sehingga, di kemudian hari tempat tersebut dikenal sebagai Salatiga, nama salah satu Kota di Jawa Tengah.
Perjalanan kembali diteruskan. Dan sampailah beliau di tempat yg banyak ditumbuhi pohon bambu kuning atau bambu Ampel. Dan daerah ini, di kemudian hari dikenal dg nama Ampel, salah satu Kecamatan di Boyolali.
Sambil menunggu anak dan istrinya yg semakin tertinggal jauh, beliau beristirahat di sebuah batu besar di tengah sungai. Dalam istirahatnya, beliau berucap "Baya Wis Lali Wong Iki", atau yg dalam Bahasa Indonesia berarti "Sudah Lupakah Orang Ini". Dari kata Baya Wis Lali itulah, seiring dg perkembangan zaman dan budaya, daerah tersebut dikenal sebagai Boyolali hingga saat ini.
Dari situ diketahui jika banyak nama daerah di Jawa Tengah, yg asal-usul namanya memiliki keterkaitan dg perjalanan Pangeran Mangkubumi (di kemudian hari dikenal sebagai Sunan Bayat) menuju daerah Tembayat, Klaten.
Rujukan Utama:
- "Pemerintah Kabupaten Boyolali" http://boyolali.go.id/8-modules/19-post
- "Sunan Bayat - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas" https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sunan_Bayat
Rabu, 30 November 2022
Anda Orang Demak? Beginilah Asal-Usul Nama Demak Dalam 9 Versi Yang Berbeda
Demak merupakan salah satu Kabupaten di Pulau yg mendapatkan julukan "Kota Wali", karena Demak sendiri adalah daerah yg erat hubungannya dg Para Wali jaman dulu. Secara etimologi, Banyak versi sejarah terkait asal usul dari nama Demak.
Versi pertama Menurut Solichin Salam, Demak berasal dari Bahasa Arab, yaitu Dhima' (Sesuatu yg mengandung air). Hal ini berdasarkan fakta bahwa daerah Demak memang banyak mengandung air. Adapun penyebab daerah Demak mengandung banyak air adalah karena dahulunya di Bintara terdapat banyak rawa dan tanah payau, sehingga banyak telaga tempat menampung air.
Versi kedua menurut Purbatjaraka, kata Demak berasal dari kata Delemek, dari Bahasa Sanskerta, yg artinya tanah yg mengandung air. Dan menurutnya, di seluruh Tanah Jawa hanya ada satu tempat (Kabupaten/Kota) yg namanya berasal dari Bahasa Arab, yaitu Kudus (Al-Quds).
Versi ketiga menurut Slamet Muljana, Demak diartikan Anugerah/Ganjaran, yaitu anugerah dari Prabu Kertabhumi yg diberikan kepada Raden Patah atas Bumi bekas hutan Glagah Wangi. Dasar etimologinya adalah Kitab Kakawin Ramayana VI/198 atau Kawi Ordonden XXIII, yg berbunyi, "Wineh Demak Kapwa Yatha Kramannya".
Versi keempat menurut Hamka, nama Demak berasal dari Bahasa Arab Dama, yg artinya air mata. Alasan Hamka disini adalah melihat betapa sulit dan susahnya mengembangkan dan menyiarkan Agama Islam pada waktu itu.
Sebab, agama yg terlebih dahulu sudah dihayati dan diamalkan oleh Masyarakat Jawa, yaitu Agama Hindu, Buddha, Animisme, dan Dinamisme. Sehingga, juru dakwah banyak yg prihatin, tekun, dan selalu menangis kepada Allah, memohon petunjuk serta kekuatan dari-Nya.
Versi kelima menurut H. Oemar Amir Hoesin, menduga bahwa kata Demak berasal dari nama sebuah Kota di Mesir, yaitu Dimyat. Pada zaman Kholifah Fatimiyah, guru-guru agama yg datang ke Indonesia banyak yg berasal dari tempat tersebut.
Versi keenam menurut K.R.T Honggo Maulana, kata Demak jelas berasal dari Bahasa Arab. Sebab, sejak abad ke-7, Agama Islam telah masuk ke wilayah Majapahit. Kadipaten Demak adalah satu-satunya wilayah Majapahit yg masyarakatnya mayoritas beragama Islam.
Versi ketujuh menurut cerita tutur, kata Demak berasal dari peristiwa Nyai Lembah yg berasal dari Rawa Pening, lesungnya terdampar di muara Sungai Tuntang. Untuk mencari penyebab terdamparnya lesung tersebut, Nyai Demak-Demek (Indonesia: Meraba-raba) di dasar sungai. Dari Kata Demak-Demek itulah, muncul nama Demak.
Versi kedelapan mengatakan bahwa nama atau kata Demak berasal dari Bahasa Jawa Kuno yg memiliki 2 arti yg berbeda satu sama lainnya. Pertama, kata Demak bermakna Tanah Hadiah yg diberikan raja kepada pengikut setia atau sebagai tanah tunjangan dari Maharaja kepada Raja Muda di Kerajaan Bawahan. Kedua, Demak bermakna menyerang dg tiba-tiba atau menerkam.
Versi kesembilan Tentang Kata Demak yg lebih menarik adalah berdasarkan sumber Prasasti yg berasal dari Zaman Majapahit, pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. Nama Demak telah disebut sebagai salah satu dari 33 Pangkalan dari jaringan lalu lintas air pada masa lalu.
Itulah 9 versi Asal-Usul nama Demak yg dikutip dari Buku Babad Tanah Jawi karya Soedjipto Abimanyu.
>>> BELI BUKU BABAD TANAH JAWI / SOEDJIPTO ABIMANYU DISINI <<<
Selasa, 29 November 2022
Dari 11 Tandu, Inilah Tandu Pertama Yang Digunakan Jenderal Soedirman Untuk Bergerilya
Jenderal Soedirman merupakan seorang panglima tentara Indonesia yg terkenal dg taktik gerilyanya. Beliau banyak bergerilya di Medan yg tidak bisa dibilang mudah, karena harus keluar masuk hutan.
Selain medannya yg tidak mudah, dalam proses gerilyanya juga terhambat oleh penyakit paru-paru yg beliau derita. Namun, itu bukan dianggapnya sebagai pantangan untuk berhenti bergerilya.
>>> CEK BUKU POKOK-POKOK GERILYA KARYA A.H.NASUTION <<<
Bersama para pasukannya, Jenderal Soedirman tetap blusukan keluar masuk hutan memimpin gerilya. Untuk mengatasi kondisi tubuhnya yg mulai melemah karena penyakit yg diderita, dalam perjalanannya tidak selalu berjalan kaki. Beliau juga naik Dokar, mobil, hingga ditandu, menyesuaikan Medan yg dilewati. Namun dalam perjalanannya, Pakde (pasukannya menjuluki) lebih dominan menggunakan tandu.
Perjalanan yg ditempuh terbilang jauh, mulai dari Yogyakarta, melewati Jawa Tengah, hingga Pacitan, Jawa Timur sebagai pos terakhirnya. Jika dihitung pulang-pergi, mungkin antara ratusan hingga seribu kilometer yg ditempuh.
>>> CEK BUKU 693 KM JEJAK GERILYA SUDIRMAN <<<
Maka dari itu, selama perjalanan Pakde selalu berganti-ganti tandu. Setiap kali tandunya rusak, diganti yg baru. Tercatat jumlahnya yg digunakan sepanjang perjalanan mencapai 11 tandu.
Kini, tandu-tandu tersebut tersimpan di beberapa tempat. Salah satunya berada di Museum Jogja Kembali yg beralamat di Jl. Ring Road Utara, Jongkang, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, D.I.Yogayakarta.
Di beberapa museum, memang ditemukan tandu Jenderal Soedirman replika. Namun, untuk yg berada di Museum Jogja Kembali ini adalah asli. Menurut informasi, tandu ini adalah tandu pertama yg digunakan oleh beliau.
Tandu tersebut merupakan pemberian dari warga Wonosari. Jadi, saat itu tandu ini digunakan Pakde dari Bedoyo, Wonosari sampai Eromoko, Wonogiri.
Bentuk tandu tersebut memiliki desain yg sederhana. Kursi dan kayu diikat dg tali, bagian atas atau penutupnya menggunakan kain, bagian depan bawah dibuat pijakan kaki, dan kedua sisinya disambung dg kayu panjang sebagai tempat untuk mengangkat.
Selain tandu, di Museum Jogja Kembali juga dapat ditemukan benda peninggalan Jenderal Soedirman lainnya, seperti rute gerilya, Dokar, foto-foto perjalanan, hingga alat makan dan minum Pakde pun tersimpan baik disini.
>>> CEK BUKU CERITA ANAK JENDERAL SUDIRMAN SANG PANGLIMA BESAR <<<
Rujukan Utama:
"Monumen Jogja Kembali Simpan Tandu Pertama Jenderal Sudirman Halaman all - Kompas.com" https://regional.kompas.com/read/2017/10/05/16230441/monumen-jogja-kembali-simpan-tandu-pertama-jenderal-sudirman?page=all#page2
Minggu, 27 November 2022
Mengenal Rompi Ontokusumo, Benda Pusaka Peninggalan Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga merupakan salah seorang Dewan Walisongo yg berjasa dalam menyebarkan Agama Islam, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Makamnya sendiri berada di Kadilangu, Demak, Jawa Tengah.
Dalam perjalanan dakwahnya, Sunan yg bernama asli Raden Syahid ini, ternyata meninggalkan berbagai benda yg dianggap sebagai benda pusaka. Salah satunya adalah Rompi Ontokusumo.
>>> BUKU KESAKTIAN & TAREKAT SUNAN KALIJAGA <<<
Konon, Rompi Ontokusumo digunakan sebagai media untuk melindungi diri dari wabah penyakit atau pagebluk menakutkan yg melanda saat itu. Orang yg terkena penyakit tersebut ciri-cirinya adalah pagi masih terlihat sehat, siang sampai sore mulai sakit-sakitan, dan malamnya meninggal dunia.
Dalam sebuah versi disebutkan jika dibuatnya Rompi Ontokusumo, bermula dari Sunan Kalijaga yg melawan Nyi Roro Kidul, karena wabah penyakit tersebut konon Ratu Laut Selatan lah yg menimbulkannya. Namun, kala itu Sunan Kalijaga mengalami kekalahan.
Kemudian, Sunan Kalijaga mendapatkan Wangsit, jika ingin mengalahkan Nyi Roro Kidul, beliau harus Mengkhatamkan Kitab Al-Qur'an terlebih dahulu.
>>> BUKU SUNAN KALIJAGA, MISTIK DAN MAKRIFAT <<<
Akhirnya, beliau Mengkhatamkannya di Masjid Demak, dg disaksikan beberapa Dewan Wali Songo lain. Dan setelah Sholat Shubuh berjama'ah, Para Wali menemukan Kulit Kambing, pada Kamis Legi Malam Jum'at Pahing.
Kulit kambing tersebutlah yg digunakan untuk membuat Rompi Ontokusumo yg kemudian dirajah oleh Sunan Bonang.
Saat sudah jadi, rompi tersebut justru tidak pas digunakan oleh Sunan Bonang, serta Dewan Wali lainnya. Ketika Sunan Kalijaga mencoba memakainya, ternyata pas.
Akhirnya, Rompi Ontokusumo itu diberikan kepada Sunan Kalijaga, dan digunakan juga sebagai tameng dalam melawan Nyi Roro Kidul. Hingga penguasa pantai selatan tersebut takluk.
>>> BUKU MISTERI NYI RORO KIDUL DAN LAUT SELATAN <<<
Dalam versi lainnya disebutkan jika wabah penyakit atau pagebluk itu tidak ada hubungannya dg Nyi Roro Kidul, Sosok ghaib penguasa Pantai Selatan. Sehingga, dibuatnya Rompi Ontokusumo tersebut, murni hanya sebagai media untuk melawan wabah penyakit yg melanda saat itu.
Rujukan Utama:
- "Benda Pusaka Rompi Ontokusumo Milik Sunan Kalijaga Bukan Digunakan Berperang Melawan Nyai Roro Kidul, Tetapi.. - Bondowoso Network - Halaman 2" https://bondowoso.jatimnetwork.com/khazanah/pr-1823698828/benda-pusaka-rompi-ontokusumo-milik-sunan-kalijaga-bukan-digunakan-berperang-melawan-nyai-roro-kidul-tetapi?page=2.
- "Karomah Pusaka Sunan Kalijaga, Rompi Ontokusumo dan Keris Kiai Carubuk" https://daerah.sindonews.com/read/125380/29/karomah-pusaka-sunan-kalijaga-rompi-ontokusumo-dan-keris-kiai-carubuk-1596722917
Sabtu, 26 November 2022
Bukti Keberadaan Selat Muria Di Era Kesultanan Demak Ratusan Tahun Silam
Muryo adalah sebuah sebutan untuk kata Muria dalam Bahasa Jawa Wetanan. Nama Muria umumnya terkenal setelah dipakai sebagai nama Sunan Muria dan Gunung Muria.
Namun, ratusan tahun yg lalu, orang juga mengenal Muria dalam Selat Muria. Lantas, Apakah Selat Muria pernah ada?
Jawabannya adalah ada. Dalam peta wilayah kekuasaan Demak, dapat diketahui jika pusat Kota Demak dahulu berlokasi di tepi laut. Namun, saat ini jaraknya dari laut justru sampai sekitar 30 km.
>>> BUKU BABAD DEMAK <<<
Kala itu, letak Demak cukup menguntungkan bagi kegiatan perdagangan maupun pertanian. Selat yg memisahkan Jawa Tengah dan Pulau Muria pada masa itu cukup lebar dan dapat dilayari dg leluasa. Sehingga, dari Semarang melalui Demak, perahu dapat berlayar sampai Rembang. Namun, Sekitar abad 17, Selat tersebut tidak lagi dapat dilayari sepanjang tahun.
Paa abad 17, khususnya pada musim penghujan, perahu-perahu kecil dapat berlayar dari Jepara menuju Pati yg terletak di tepi Sungai Juwana. Sekitar tahun 1657, Tumenggung Pati mengumumkan bahwa ia bermaksud memerintahkan menggali terusan yg menghubungkan Demak dg Pati, sehingga Juwana dapat menjadi pusat perniagaan.
Pada abad 16, Demak diduga menjadi pusat penyimpanan beras hasil pertanian dan dari daerah-daerah sepanjang Selat Muria. Adapaun Juwana pada sekitar tahun 1500, pernah pula berfungsi seperti Demak.
>>> BUKU KERAJAAN ISLAM DEMAK <<<
Sehubungan dg itu, menurut laporan seorang pengelana asing terkenal di Indonesia saat itu, Tom Pires, pada sekitar tahun 1513, Juwana dihancurkan oleh seorang Panglima perang Majapahit, dan Demak menjadi satu-satunya yg berperan untuk fungsi itu.
Perhubungan Demak dg daerah pedalaman Jawa Tengah adalah melalui Kali Serang yg muaranya terletak diantara Demak dan Jepara. Sampai hampir akhir abad 18, Kali Serang dapat dilayari dg kapal-kapal sampai pedalaman. Mata air Kali Serang terletak di Gunung Merbabu dan Pegunungan Kendeng Tengah. Di sebelah selatan pegunungan tersebut, tercatat bentang alam Pengging (Diantara Boyolali dan Pajang/Kartasura).
Pada abad 17, sedimen di Selat Muria sudah semakin banyak dan akhirnya mendangkalkannya, sehingga tidak dapat lagi dilayari. Pelabuhan Demak mati, dan peranan pelabuhan diambil oleh Jepara yg letaknya di sisi barat Pulau Muria.
Pelabuhannya cukup baik dan aman dari gelombang besar karena terlindung oleh 3 Pulau yg terletak di depan pelabuhan. Hal ini menjadikan Kapal-kapal dagang yg berlayar dari Maluku ke Malaka atau sebaliknya, selalu berlabuh di Jepara.
Rujukan Utama:
Buku Babad Tanah Jawi Yang Ditulis Oleh Soedjipto Abimanyu.
>>> BUKU BABAD TANAH JAWI <<<
Asal-Usul Nama Semarang, Yang konon Berhubungan Dg Pohon Asam
Secara administrasi, di Jawa Tengah ada dua Kabupaten/Kota dg Nama Semarang, yaitu Kota Semarang dan Kabupaten Semarang. Kota Semarang berada di Utara Kabupaten Semarang, dan berbatasan dg pesisir Utara Jawa. Sedangkan Kabupaten Semarang, letaknya berada di sebelah selatan Kota Semarang, dan bentuknya memanjang ke selatan, menjauhi pesisir Utara Jawa.
Semarang sendiri adalah salah satu daerah tua yg telah menjadi Kota Pelabuhan penting di Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. Sebagai daerah tua, konon nama Semarang sendiri muncul pada masa Sunan Pandanaran ratusan tahun yg lalu.
Dalam suatu versi sejarah, pada jaman Kerajaan Demak, hiduplah seorang pangeran bernama Raden Made Pandan. Beliau dikenal sebagai seorang 'Ulama dan Bangsawan yg dihormati dan disegani oleh masyarakat.
Raden Made Pandan memiliki seorang putra bernama Raden Pandanarang. Sebagaimana ayahnya, Raden Pandanarang pun dikenal memiliki kepribadian yg sopan, baik hati, dan berbakti kepada orang tuanya.
Pada suatu waktu, keduanya beserta para pengikutnya meninggalkan Kesultanan Demak, dan pergi ke arah barat untuk mencari tempat baru yg akan mereka tempati.
Setelah menempuh perjalanan berhari-hari, sampailah Raden Made Pandan di suatu tempat, dan meminta para pengikutnya untuk berhenti. Beliau merasa cocok dg tempat tersebut, hingga akhirnya dibabadlah hutan disana, dan didirikan Pondok Pesantren serta lahan pertanian.
Disana, Raden Made Pandan mengajarkan Agama Islam kepada pengikutnya. Hingga lama-kelamaan keberadaan tempat tersebut menarik banyak orang lain untuk turut menimba Ilmu disana.
Seiring berjalannya waktu, Raden Made Pandan semakin nyaman tinggal di tempat tersebut. Beliau berharap anaknya, Raden Pandanarang dapat meneruskan perjuangan dakwah serta kehidupan bermasyarakatnya disana.
Dan sebelum meninggal, berwasiatlah Raden Made Pandan kepada Raden Pandanarang agar meneruskan cita-citanya dan tidak meninggalkan tempat tersebut.
Di kemudian hari, wasiat ayahnya tersebut benar-benar dilaksanakan oleh Raden Pandanarang. Beliau pun menjadi menjadi seorang Guru Agama Islam seperti ayahnya, dan lahan pertanian disana juga dikelolanya, hingga hasil panennya pun berlimpah. Alhasil, bertambah banyaklah lah orang yg datang kesana.
Pada suatu waktu, terjadilah hal yg aneh disaat Raden Pandanarang beserta para pengikutnya sedang menggarap lahan pertanian. Diantara pepohonan yg hijau subur, tumbuhlah beberapa pohon asam dg jarak yg saling berjauhan.
Karena terdapat pohon asam yg tumbuh saling berjauhan (arang-arang) disana, maka kemudian oleh Raden Pandanarang tempat tersebut dinamai sebagai Semarang.
Jadi, dari cerita tersebut diketahuilah jika secara etimologi nama Semarang berasal dari kata Sem (Asem/Pohon Asem) dan kata Arang (Jarang/Letaknya Jarang-Jarang). Walaupun pohon asem merupakan bagian dari sejarah Semarang, namun kini pohon tersebut justru termasuk flora langka yg sulit ditemui.
Rujukan Utama:
"Data" https://scymark.semarangkota.go.id/v18/konten.php?data=alamatasal-usul-kota-semarang&lang=in