Gombong adalah nama sebuah Kecamatan di Kabupaten Kebumen. Kecamatan Gombong banyak dikenal sebagai daerah Kota terbesar kedua di Kabupaten Kebumen, setelah Kota Kebumen.
Rabu, 21 Desember 2022
Asal Mula Kota Gombong, Yang Ternyata Didirikan Oleh Kyai Gombong
Gombong adalah nama sebuah Kecamatan di Kabupaten Kebumen. Kecamatan Gombong banyak dikenal sebagai daerah Kota terbesar kedua di Kabupaten Kebumen, setelah Kota Kebumen.
Selasa, 20 Desember 2022
Menilik Sumur Gandeng, Sumur Unik Yang Ada Di Demak
Sumur merupakan suatu lubang yg dalam, dan umumnya dibuat manusia untuk memperoleh atau menampung sumber mata air yg berasal dari dalam tanah.
Biasanya, air yg keluar dari dalam tanah melalui sumur, memiliki rasa air tawar alami. Namun, di sebuah daerah di Demak, ternyata terdapat sebuah sumur unik yg konon memiliki 3 rasa yg berbeda.
Sumur Gandeng namanya. Sumur ini terletak di Desa Bermi, Kecamatan Mijen, Kabupaten Demak. Dinamakan Sumur Gandeng, karena memang sumur di tempat itu ada yg bergandengan.
Sebenarnya, terdapat 3 sumur di tempat cagar budaya ini. Yg dua, bentuknya bergandengan dan hanya bisa digunakan untuk mandi. Sedangkan sumur satunya lagi, terpisah dan khusus digunakan untuk minum.
Seperti yg sudah disinggung diatas, sumur ini memang tergolong unik. Selain terdapat 2 sumur yg strukturnya bergandengan, menurut juru kuncinya, sumur ini juga memiliki rasa dan warna yg berbeda-beda di waktu-waktu tertentu.
Selain itu, Jika pada umumnya di musim kemarau banyak sumur-sumur yg mengalami kekeringan, Sumur Gandeng ini juga konon tak mengenal musim, alias stabil debit airnya.
Masih Menurut informasi dari juru kunci, pada era orde baru atau sekitar tahun 1970 hingga 1980-an, sumur ini kerap kali digunakan sebagai sarana memperoleh kesaktian.
Namun, seiring berjalannya waktu, sumur Gandeng ini juga memiliki khasiat lain, seperti untuk sarana pengobatan, bahkan perjodohan. Tentunya, keistimewaan-keistimewaan diatas dapat terwujud atas ijin dari Alloh SWT.
Rujukan Utama:
https://jateng.suara.com/read/2021/03/18/095437/ada-sumur-gandeng-di-demak-konon-katanya-bisa-sebagai-obat-hingga-jodoh?page=all
Senin, 12 Desember 2022
Benarkah Nama Cilongok Tercipta Pada Masa Kerajaan Pajajaran?
Cilongok merupakan salah satu nama Kecamatan yg ada di wilayah Kabupaten Banyumas. Berdasarkan urutan huruf alfabet, nama Cilongok berada di posisi keempat (dari 27 Kecamatan di Banyumas) setelah Ajibarang, Banyumas, dan Baturraden.
Dilihat dari namanya, Cilongok seperti sebuah nama berbau daerah Jawa bagian barat atau Sunda. Namun, untuk saat ini sendiri, justru masyarakat asli Cilongok adalah Suku Jawa, dg Bahasa asli Jawa Banyumasan.
Kecamatan Cilongok saat ini memiliki Pusat Pemerintahan di Desa Pernasidi. Namun, dalam sejarahnya, sebelum Kemerdekaan RI hingga awal-awal Kemerdekaan, Kecamatan ini berpusat di Desa Cilongok. Maka dari itulah nama Kecamatan ini pun menjadi Kecamatan Cilongok.
Terkait asal-usul nama Cilongok sendiri, terdapat beberapa sumber pendapat yg menceritakannya. Pendapat pertama dari Bapak Sunaryo, salah seorang sesepuh Desa Cilongok, mengatakan jika nama Cilongok diberikan karena dahulu terdapat seorang Kakek yg bernama Kaki Cilongok.
Pendapat kedua dari Mas Dedi, tokoh Karang Taruna Desa Cilongok, mengatakan jika Cilongok berasal dari kata Ci- yg berarti Air dan Longok yg berarti Muncul. Sehingga, Cilongok diartikan sebagai Mata Air yg muncul dari dalam tanah.
Pendapat ketiga dikemukakan secara lebih panjang oleh Bapak Risun, salah seorang keturunan dari Bapak Nurya Sentika (Lurah pertama Cilongok).
Beliau menceritakan, jika dahulu Desa Cilongok adalah Batas wilayah timur dari Kerajaan Pajajaran. Dikarenakan saat itu belum ada penjaga perbatasan wilayah timur Kerajaan, maka Sang Raja membuat sayembara. Siapa yg paling kuat, maka ia berhak menjadi penjaga perbatasan.
Sayembara tersebut kemudian didengar oleh 3 orang bersaudara, yaitu Ki Suramerta, Ki Candrageni, dan Ki Jambe Wangi. Ki Suramerta dan Ki Candrageni cukup berambisi untuk memenangkan sayembara tersebut. Berbeda dg 2 saudaranya itu, Ki Jambe Wangi justru tidak terlalu berambisi.
Ketiganya lantas bertarung adu kekuatan di lokasi yg kini berada di bawah makam Ki Suramerta. Karena pertarungan yg begitu sengit, muncullah ledakan hebat yg membentuk sebuah Kedung yg mengeluarkan air.
Masyarakat yg terkejut mendengar ledakan tersebut, kemudian melongok atau menengok ke tempat kejadian untuk memastikan apa yg terjadi.
Karena saat itu terdapat sebuah mata air baru yg banyak dilihat atau ditengok atau dilongok oleh masyarakat sekitar, maka tempat tersebut kemudian diberi nama Cilongok. Kata Ci diberikan karena adanya munculnya air, sedangkan kata Longok diberikan karena adanya orang-orang yg ramai menengok atau melongok.
Pertarungan tadi dimenangkan oleh Ki Jambe Wangi, sehingga ia berhak menjadi penjaga perbatasan timur Kerajaan. Dan nama Ki Jambe Wangi kemudian dikenal dg nama Ki Cilongok, sesuai nama tempat tersebut.
Berdasarkan penulusuran Google Maps, di Desa Cilongok memang terdapat sebuah pemakaman yg diberi nama TPU Suramerta. Sehingga, jika merujuk pada pendapat ketiga diatas, lokasi tempat pertarungan yg berubah menjadi kedung tersebut, berada di sekitar Dusun Bedolan, Desa Cilongok, Kecamatan Cilongok, Banyumas. Apakah Benar Demikian?
Dari 3 pendapat diatas, penulis sendiri lebih condong pada pendapat ketiga. Sebab, pendapat dari Bapak Risun uraiannya lebih panjang dan juga mencakup apa yg dikemukakan oleh pendapat pertama (Bapak Sunaryo) dan pendapat kedua (Mas Dedi).
Namun, karena dalam cerita tadi disebutkan terjadi pada masa Kerajaan Pajajaran ratusan tahun silam, maka cerita diatas tentunya belum terjamin semua kebenarannya.
Rujukan Utama:
"profil desa cilongok: Profil desa" http://desacilongok.blogspot.com/2013/09/jjjjjjjjjj.html?m=1
Mengenal Asal-Usul Nama Dan Sejarah Terbentuknya Kabupaten Banjarnegara
Banjarnegara merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan penetapan Hari jadinya, Banjarnegara memiliki hubungan erat dg Kabupaten Banyumas. Lantas, bagaimana asal usulnya?
Dalam riwayat berdirinya Kabupaten Banjarnegara disebutkan bahwa dahulu ada seorang tokoh masyarakat yang bernama Kyai Maliu sangat tertarik akan keindahan alam di sekitar Kali Merawu selatan jembatan Clangkap.
Keindahan tersebut antara lain karena tanahnya berundak, berbanjar sepanjang kali. Sejak saat itu, Kyai Maliu kemudian mendirikan pondok/rumah sebagai tempat tinggal yang baru.
Dari hari ke hari kian ramai dengan para pendatang yang kemudian mendirikan rumah disekitar tempat tersebut sehingga membentuk satu perkampungan. Kemudian perkampungan yang baru dinamai “BANJAR” sesuai dengan daerahnya yang berupa sawah yang berpetak-petak.
Atas dasar musyawarah penduduk desa baru tersebut Kyai Maliu diangkat menjadi Petinggi (Kepala desa), sehingga kemudian dikenal dengan nama “Kyai Ageng Maliu Petinggi Banjar.
Keramaian dan kemajuan desa Banjar di bawah kepemimpinan Kyai Ageng Maliu semakin pesat tatkala datang 3 Putra Sunan Giri, yaitu Kanjeng Pangeran Giri Wasiat, Panembahan Giri Pit, dan Nyai Sekati yang sedang mengembara dalam rangka syiar agama Islam.
Dibawah kepemimpinannya itulah Desa Banjar semakin berkembang dan ramai. Desa Banjar yang didirikan oleh Kyai Ageng Maliu inilah pada akhirnya menjadi cikal bakal Kabupaten Banjarnegara.
Pemkab Banjarnegara sendiri menetapkan Hari Jadi Banjarnegara jatuh pada 26 Februari 1571 Masehi, yg dikukuhkan dalam Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2019.
Tanggal 26 Februari 1571 menjadi patokan, atas peristiwa diangkatnya Jaka Kaiman pada 22 Februari 1571 (hari jadi Banyumas) oleh Sultan Pajang sebagai Adipati Wirasaba setelah peristiwa terbunuhnya Wargohutomo akibat fitnah Demang Toyareka pada tragedi Sabtu Pahing.
Saat itu, Jaka Kaiman tidak menyangka diangkat menjadi Bupati Wirasaba menggantikan mertuanya pada 27 Ramadhan 978 H atau 22 Februari 1571. Ia bahkan berangkat ke Pajang dalam rangka mewakili ipar-iparnya yang takut menghadap Sultan Pajang, takut dibunuh sebagaimana Wargo Hutomo.
Maka wajar dan sadar diri bahwa ia hanya anak menantu, pada saat pertemuan kedua dengan Sultan Pajang pada saat Hari Raya Idul Fitri atau 1 Syawal 978 H, tepatnya pada Senin Pon 26 Februari 1571, Jaka Kaiman mengusulkan untuk membagi Kadipaten Wirasaba menjadi 4, yaitu Wirasaba, Kejawar, Merden (Pamerden) dan Banjar Petambakan.
Dan hal itu pun disetujui oleh Sultan Hadiwijaya, sehingga begitu pulang dan sampai di Wirasaba, ia langsung membagi Wirasaba menjadi empat.
Ini adalah sebuah fakta pikiran, yang bersumber dari Babad Kalibening dan Babad Banyumas yang sebelumnya telah dijadikan sebagai rujukan penetapan hari jadi Banyumas 22 Februari 1571 atau hanya berselang tiga hari. Tanggal itulah yang dirasa paling tepat dijadikan titi mangsa berdirinya Kabupaten Banjarnegara.
Untuk nama perubahan nama menjadi Banjarnegara sendiri, terjadi pada masa kepemimpinan KRT Dipayudha IV (1831-1846). pada masa ini pusat kekuasaan kembali dipindah ke selatan sungai Serayu, atas ijin Pakubuwana VII. Nama kabupaten pun diubah menjadi Banjarnegara, dengan maksud “Banjar” adalah sawah, telah berubah menjadi kota atau “Negara”.
Sebelumnya, berdasarkan Resolutie Governeur General Buitenzorg tanggal 22 Agustus 1831 Nomor I, Raden Tumenggung Dipoyudho IV resmi menjabat Bupati Banjar Watulembu. Isi dari resolusi itu antara lain dibentuknya 4 Kabupaten baru selain Banyumas, yaitu Kabupaten Banjarnegara, Majenang, Ajibarang, dan Purbalingga. Maka dari itu, sebelumnya Tanggal 22 Agustus tersebut, pernah dijadikan patokan Hari Jadi Banjarnegara.
Berdasarkan catatan sejarah pada paragraf diatas, diketahui juga jika sebelum bernama Banjarnegara, Kabupaten ini memang memiliki nama Banjar Watulembu, yg dimulai di era kepemimpinan Raden Mangunyudho II. Dimana kala itu, pusat Kabupaten dipindahkan ke sebelah Barat Sungai Merawu.
Rujukan Utama:
https://banjarnegarakab.go.id/main/pemerintahan/profil/.
https://lama.banjarnegarakab.go.id/index.php/berita/politik/1083-menguak-asal-mula-kabupaten-banjarnegara
Minggu, 11 Desember 2022
Kisah Kesaktian Joko Tingkir Yang Kebal Senjata Tajam Dan Ditakuti Binatang Buas
Dalam dunia sejarah Indonesia, Joko Tingkir termasuk sosok yg paling sering dibahas, bahkan sampai pernah difilmkan. Tokoh yg bernama asli Mas Karebet ini merupakan pendiri sekaligus Raja pertama Kesultanan Pajang, yg bergelar Sultan Hadiwijaya.
Joko Tingkir merupakan sosok yg dikenal sakti mandraguna. Bahkan, dalam Buku Babad Tanah Jawi, disebutkan jika Joko Tingkir adalah salah satu dari 3 tokoh sakti pada era akhir Kesultanan Demak, selain Sunan Prawoto dan Arya Penangsang.
Hal ini tidak aneh memang, karena Joko Tingkir sejak masih diasuh Nyai Ageng Tingkir pun sudah dikenal gemar menyepi serta bertapa dalam waktu yg lama, baik di hutan, gua, hingga gunung.
Selain bertapa, Joko Tingkir muda dikenal juga suka berguru Agama Islam dg beberapa tokoh Guru terkenal, seperti Ki Ageng Selo dan Sunan Kalijaga.
Saat dewasa, Joko Tingkir dikenal sebagai sosok yg kebal berbagai senjata tajam. Hal ini pernah dibuktikan ketika Joko Tingkir ditikam oleh 4 orang suruhan Arya Penangsang. Dan ternyata, Joko Tingkir tidak terluka sedikit pun.
Selain dikenal kebal dari berbagai senjata tajam, Joko Tingkir juga dikenal ditakuti oleh berbagai binatang buas. Hal ini pernah dibuktikan dalam kisahnya yg berhasil menaklukkan kawanan buaya dan kerbau gila.
Kisah tersebut bermula saat rombongan Joko Tingkir menyusuri Sungai Kedung Srengenge menggunakan rakit. Dari sungai tersebut, muncullah kawanan buaya (ada yg menyebut siluman buaya) menyerang mereka.
Namun, akhirnya puluhan buaya tersebut dapat ditaklukkan oleh Joko Tingkir. Bahkan, akhirnya kawanan buaya itu membantu mendorong rakit sampai tujuan.
Sedangkan kisah Joko Tingkir menaklukkan Kerbau gila, bermula saat Sultan Trenggono sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto.
Saat itu, Joko Tingkir melepas seekor kerbau gila yg dinamakannya sebagai Kebo Danu, dan sudah diberi mantra berupa tanah kuburan pada telinganya. Alhasil kerbau tersebut mengamuk menyerang Pesanggrahan raja, dan tidak ada prajurit yg sanggup melawannya.
Joko Tingkir pun tampil bak seorang pahlawan menghadapi Kerbau Gila itu. Dan lagi-lagi, Ia pun dapat mengalahkannya dg tanpa kesusahan. Sultan Trenggono pun akhirnya bersimpati serta mengangkatnya kembali menjadi Lurah Wiratamtama.
Dibalik kesaktiannya tersebut, ternyata disebutkan jika Joko Tingkir memiliki sebuah pusaka berupa Timang atau kepala ikat pinggang yg dikenal dg nama Kyai Bajulgiling.
Kyai Bajulgiling tersebut, konon adalah milik Kyai Buyut dari Banyubiru, yg diberikan kepada Joko Tingkir dalam pengabdiannya di Kesultanan Demak, yg kemungkinan akan menemui banyak hambatan.
Timang Kyai Bajulgiling tersebut menurut Babad Pengging, konon dibuat dari Bijih Baja Murni yg diambil dari dalam gumpalan magma lahar Gunung Merapi.
Dari kekuatan alami yg dimiliki oleh inti bijih baja murni, serta rajah berkekuatan ghaib yg diguratkan Kyai Banyubiru di seputar timang tersebut, maka siapa saja yg memakai Kyai Bajulgiling ia akan kebal dari berbagai senjata tajam dan ditakuti oleh berbagai binatang buas.
Lantaran pusaka Kyai Bajulgiling tersebutlah, kesaktian Joko Tingkir menjadi bertambah, dan sudah beberapa kali dibuktikan seperti yg telah diceritakan dalam kisah diatas tadi.
Rujukan Utama:
Buku Babad Tanah Jawi Karya Soedjipto Abimanyu.
Sabtu, 10 Desember 2022
Cerita Syekh Atas Angin, Tokoh Yang Konon Memberikan Nama Gunung Slamet
Nama Syekh Atas Angin atau Mbah Atas Angin biasanya akan muncul jika kita membahas Sejarah atau Asal-Usul nama tempat di kawasan Gunung Slamet dan sekitarnya, seperti Watukumpul, Belik, dan lain sebagainya.
Dalam sebuah versi, nama-nama tersebut konon diambil berdasarkan perjalanan dari Syekh Atas Angin. Lantas, siapa sebenarnya Syekh Atas Angin?
Ada yg menyebut Syekh Atas Angin memiliki nama asli Syekh Maulana Maghribi. Beliau konon adalah seorang mubaligh atau penyebar agama Islam yg berasal dari sebuah Negeri di Timur Tengah (ada yg menyebut Turki).
Asal mula beliau datang ke Tanah Jawa, konon karena mengikuti sebuah cahaya misterius yg menjulang ke angkasa. Karena melihat cahaya tersebut, Syekh Maulana Maghribi bersama Haji Datuk, dan para pengikutnya, sepakat untuk mengikuti keberadaan cahaya tersebut, hingga akhirnya sampailah keduanya di Tanah Jawa.
Pada awal sampai di Pulau Jawa, mereka berlabuh di sekitar Pantai Gresik, Jawa Timur. Namun, cahaya tersebut terlihat di arah barat. Maka, keduanya pun melanjutkan perjalanan, hingga sampailah di sekitar Pantai Pemalang.
Sesampainya disana, pengikut yg lain diperintahkan untuk kembali ke negerinya, sehingga Syekh Maulana Maghribi hanya ditemani oleh Haji Datuk. Dari situ, keberadaan cahaya terlihat berada di sekitar sebelah selatan.
Mereka pun terus mengikuti arah cahaya tersebut dg menembus hutan belantara serta berbagai Medan yg tidak bisa dibilang mudah. Karena merasa letih, mereka pun beristirahat sejenak.
Di tempat istirahat itu, mereka termenung sambil merasakan lelahnya perjalanan serta mengingat kewajibannya untuk menyebarkan Agama Islam. Tempat mereka yg diliputi pikiran dan perasaan tersebut, di kemudian hari dikenal dg nama Paduraksa (nama Kelurahan di Pemalang).
Keduanya kemudian melanjutkan perjalanan lagi, hingga sampai di hutan belukar, sembari singgah diatas tonggak pohon randu yg tumbang. Dan di kemudian hari, tempat tersebut dikenal dg nama Randudongkal (nama Kecamatan di Pemalang).
Dari tempat tersebut, keduanya melanjutkan perjalanan mencari asal cahaya misterius. Hingga sampailah keduanya di sebuah sendang atau kolam. Di dekat sendang tersebut, keduanya kemudian melaksanakan Sholat. Dan di kemudian hari, tempat tersebut dikenal dg nama Belik (nama Kecamatan di Pemalang).
Setelah melaksanakan Sholat, keduanya meneruskan perjalanan hingga sampai di sebuah tempat yg memiliki banyak bebatuan. Di tempat tersebut, keduanya pun beristirahat sambil terus memikirkan perjalanan selanjutnya. Karena terdapat banyak bebatuan, tempat tersebut di kemudian hari dikenal dg nama Watukumpul (nama Kecamatan di Pemalang)
Setelah menempuh perjalanan panjang, Akhirnya sampailah mereka ke tempat yg dituju, yg ternyata berada di puncak gunung. Dari situ, diketahui jika cahaya terang misterius yg menjulang ke angkasa ternyata berasal dari seorang petapa Buddha yg bersandar di pohon jambu (versi lain menyebut asal cahaya berasal dari tempat/gunungnya).
Petapa tersebut kemudian memeluk Agama Islam setelah adu kesaktian dg Syekh Maulana Maghribi, dan namanya pun kemudian dikenal dg Syekh Jambu Karang.
Selanjutnya, Syekh Maulana Maghribi bermukim lama di suatu tempat bernama Banjar Cahayana. Di tempat tersebut, beliau menderita penyakit gatal di sekujur tubuhnya.
Karena begitu sulit disembuhkan, Syekh Maulana Maghribi kemudian Sholat dan memohon petunjuk kesembuhan kepada Allah SWT. Setelah berdoa, akhirnya beliau mendapatkan ilham agar pergi ke Gunung Gora (nama lama Gunung Slamet dalam suatu versi).
Syekh Maulana Maghribi dg ditemani dg Haji Datuk, akhirnya pergi ke Gunung Gora. Setelah sampai ke lereng Gunung Gora, Syekh Maulana Maghribi memerintahkan agar Haji Datuk meninggalkannya, dan beristirahat di tempat yg lebih datar.
Akhirnya, Syekh Maulana Maghribi meneruskan perjalanan seorang diri menuju tempat kepulan asap. Setelah sampai, diketahui jika kepulan asap tersebut berasal dari sumber air panas. Sumber air panas itulah yg dijadikan sebagai obat gatal, hingga penyakit beliau pun menjadi sembuh. Karena mempunyai 7 mata air, maka dinamailah oleh beliau Pancuran Pitu.
Selanjutnya, Gunung Gora pun dinamainya dg nama Gunung Slamet, dimana Slamet sendiri berasal dari kata dalam Bahasa Arab, 'Salamat', yg berarti Keselamatan.
Selama Syekh Maulana Maghribi berada di Pancuran Pitu, ternyata Haji Datuk masih setia berada di tempat yg beliau perintahkan. Maka dari itu, Haji Datuk kemudian diberi julukan Haji Datuk Rusuladi. Rusuladi sendiri berarti Batur yg Baik (Adi). Dari nama Batur Adi tersebutlah konon tercipta nama Baturraden hingga sekarang.
Di kemudian hari, Syekh Maulana Maghribi dikenal sebagai Syekh Atas Angin, karena beliau berasal dari tempat yg jauh. Dan makamnya (ada yg menyebutnya petilasan) kini dapat ditemui di dekat Pancuran Pitu, Baturraden.
Rujukan Utama:
- "Legenda Baturraden" https://www.menggapaiangkasa.com/2014/02/legenda-baturraden.html?m=1.
- https://kabarjoglosemar.pikiran-rakyat.com/wisata/amp/pr-73731674/menilik-mitos-makam-mbah-atas-angin-dan-pancuran-pitu-di-baturaden.
-
Jumat, 09 Desember 2022
Walaupun Bernama Soto Sokaraja, Soto Khas Banyumas Ini Tak Hanya Ada Di Sokaraja
Sokaraja merupakan nama sebuah Kecamatan di Kabupaten Banyumas. Letaknya bersebelahan dg Wilayah Eks Kota Administratif Purwokerto. Sehingga, tidak sedikit pula orang yg menyebut Sokaraja sebagai wilayah Purwokerto.
Bagi orang-orang yg berkunjung ke Purwokerto ataupun berwisata di kawasan Baturraden, Banyumas, biasanya mereka menyempatkan diri berkunjung ke Sokaraja untuk membeli berbagai oleh-oleh khas Banyumas.
Tidak dipungkiri, Di Sokaraja memang banyak ditemui toko oleh-oleh kuliner khas Banyumas. Kawasan pertokoan tersebut berada di sepanjang jalan pusat keramaian Sokaraja. Salah satu kuliner khas yg banyak dijual dan jadi incaran pengunjung adalah Soto Sokaraja.
Soto Sokaraja adalah salah satu dari banyaknya varian soto yg ada di Indonesia. Orang-orang di daerah Banyumas, lebih banyak menyebut Soto Sokaraja dg istilah Sroto Sokaraja.
Ciri khas yg membedakan Soto Sokaraja dg soto lainnya adalah bumbunya yg menggunakan sambal kacang. Karena adanya sambal bumbu kacang yg dicampur dg kecap dan bumbu tambahan lainnya, kuah yg dihasilkan pada Soto Sokaraja pun cenderung berwarna keruh kecoklatan.
Isian yg biasa ditambahkan pada Soto Sokaraja adalah ketupat, potongan daging ayam atau sapi, kecambah hijau, daun bawang, bawang goreng, dan juga tambahan kerupuk.
Sebagai kuliner khas Banyumas, biasanya dalam sebuah meja makan yg menyandingkan Soto Sokaraja, akan ada tambahan kuliner khas Banyumas lain berupa Tempe Mendoan sebagai pelengkapnya.
Walaupun embel-embelnya menggunakan nama daerah Sokaraja, namun bukan berarti Soto Sokaraja eksklusif di daerah Sokaraja saja. Soto Sokaraja juga mudah ditemui di berbagai wilayah lain di Kabupaten Banyumas, serta di Kabupaten tetangga, seperti Purbalingga.
Selain itu, Soto Sokaraja juga kerap ditemui di berbagai daerah di Indonesia. Biasanya, para perantau dari daerah Banyumas lah yg membawa kuliner tersebut ke sana.
Mereka yg memiliki keahlian dalam bidang kuliner, biasanya akan membuka usaha berupa warung makan khas Banyumas, yg didalamnya ditemui Soto Sokaraja, Tempe Mendoan, dan lain sebagainya.
Sehingga, secara tidak langsung para perantau tersebut turut memperkenalkan sekaligus melestarikan keberadaan kuliner lokal khas Banyumas ditengah gempuran arus globalisasi yg banyak mengikis kebudayaan lokal.
Rujukan Utama:
- "Sroto Sokaraja - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas" https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sroto_Sokaraja.
- "Sroto Sokaraja Khas Banyumas, Sejarah dan Resepnya" https://id.theasianparent.com/sroto-sokaraja/amp.
Sunan Prawoto, Tokoh Wali Sekaligus Raja Keempat Kerajaan Demak
Dalam sejarah Kerajaan Demak, ada sebuah tempat di Kabupaten Pati yg menjadi daerah penting bagi Kerajaan Islam di Jawa yg berdiri di abad 15 tersebut. Tempat tersebut bernama Bukit Prawoto.
Selasa, 06 Desember 2022
Mengenal Sambatan, Tradisi Gotong-Royong Yang Mulai Tertelan Zaman
Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yg tidak bisa hidup sendiri atau makhluk yg pastinya membutuhkan orang lain. Hubungan interaksi antar manusia disebut juga dg istilah Sosialisasi.
Salah satu bentuk positif hubungan antar manusia adalah adanya budaya gotong-royong. Di Indonesia sendiri, terdapat berbagai istilah untuk menyebut kegiatan gotong-royong. Salah satunya adalah Sambatan.
Sambatan merupakan sebutan istilah kegiatan gotong-royong, khususnya di daerah Pulau Jawa, dalam hal ini termasuk Provinsi Jawa Tengah dan D.I.Yogyakarta.
Secara bahasa, Sambatan berasal dari kata Sambat, yg berarti meminta pertolongan atau bantuan kepada orang lain. Secara umum, Sambatan diartikan meminta pertolongan kepada orang lain yg bersifat massal untuk membantu seseorang yg sedang memiliki keperluan atau terkena musibah.
Namun, di daerah Suku Jawa khususnya, istilah Sambatan biasanya identik dalam kegiatan gotong-royong membangun rumah (ngedekke omah) salah seorang warga. Sedangkan istilah lainnya, tergantung isi gotong royong, misalnya Rewang (gotong-royong saat ada yg hajatan).
Tradisi Sambatan, untuk saat ini masih banyak dilakukan masyarakat khususnya di daerah pedesaan. Bentuk kegiatan di dalamnya bermacam-macam, ada menaikkan genteng, merobohkan rumah, memasang bagian-bagian rumah hingga mendirikannya sebagai rumah utuh.
Biasanya, sambatan diikuti oleh orang-orang dalam satu RT atau area tertentu. Sebelum atau sesudahnya, biasanya juga diadakan doa bersama atau istilah yg biasanya dipakai adalah Slametan / Genduren.
Karena merupakan bentuk gotong-royong, umumnya Orang-orang yg mengikuti Sambatan, tidak diberi upah berupa uang sama sekali. Sebagai gantinya, tuan rumah menyediakan berbagai macam konsumsi hingga makan bersama di akhir kegiatan.
Di beberapa tempat, ketika ada salah seorang warga yg mengadakan Sambatan, diadakan pula tradisi Nyumbang. Yaitu, tradisi yg hampir sama dg Kondangan, namun tujuan utama sebenarnya adalah untuk meringankan warga tersebut.
Kesimpulannya, Sambatan adalah perwujudan dari hakikat manusia yg merupakan Makhluk Sosial. Di dalamnya, manusia memperlihatkan jatidirinya sebagai makhluk yg membutuhkan bantuan orang lain.
Namun, seiring dg semakin berkembangnya teknologi di zaman sekarang, menyebabkan tidak sedikit orang yg mulai bersikap individualistis. Hal ini bisa kita temui di kehidupan perkotaan yg sudah mulai jarang muncul Tradisi Sambatan.
Dirangkum Dari Berbagai Sumber.
Senin, 05 Desember 2022
Narimo Ing Pandum, Konsep Hidup Orang Jawa Yang Kini Mulai Pudar
Sekilas Tentang Pati Unus, Raja Demak Yang Pernah Menyerang Portugis Di Malaka